Main ke Sulawesi tapi belum ke pantai, rasanya kurang afdol ya? Biar makin mantap, kami pun memilih satu pantai untuk dicicipi. Yes, hanya satu pantai saja, dan itu pantai terbaik menurut survey kami yaitu Pantai Bira.
Memang ya, untuk mendapatkan hasil terbaik itu, diperlukan perjuangan terlebih dahulu. Karena butuh 4,5 jam dari Makassar untuk menuju Bira.
Di Makassar, kami menuju ke terminal Malengkeri. Di terminal itu terdapat mobil travel (mobil pribadi ber-plat nomor kuning) dengan rute Malengkeri – Bulukumba. Yang ajaib adalah isi penumpangnya harus 10 orang dong. Padahal mobilnya hanya sejenis Suzuki APV atau Toyota Kijang. Jika belum penuh 10 orang, mobil ini tidak akan berangkat. Belum lagi kalau penumpangnya ada yang size-nya agak besar, oalah selamat berhimpit-himpitan selama 4 jam lebih deh.
Ternyata tidak hanya kapasitas mobil ini saja yang ajaib, tetapi kelakuan driver-nya pun tak kalah mencengangkan. Bayangkan setiap ada mobil lewat dari arah berlawanan, dia selalu meng-klakson mobil tersebut. Padahal menurut saya, mobil tersebut tidak salah apa-apa loh. Coba hitung ada berapa mobil yang lewat setiap menitnya dan driver itu selalu meng-klaksonnya sepanjang perjalanan. Perjalanan 4 jam yang harusnya bisa digunakan untuk tidur siang, eh terpaksa harus dipakai untuk mendengarkan “teetttttt..teeeeetttt!!” Belum lagi, gaya nyetir-nya yang seperti pembalap. Coba kalian bayangkan situasinya: berhimpitan di dalam mobil, sambil setengah ugal-ugalan nyetirnya ditambah dengan iringan klakson selama 4 jam non-stop. Fiuh! Benar-benar super sabar ini mah. Haha. Semoga ini cuma kami saja yang lagi sial, agar kalian tidak mengurungkan niatnya untuk ke sini ya.
Tapi ternyata ada sisi positifnya juga loh. Di mobil ini, kami bertemu seorang ibu yang menawarkan rumahnya jikalau nanti kami butuh penginapan sepulangnya dari Bira. Ah, baiknya ibu ini. Belum lagi, beliau juga bersedia menemani kami untuk berkeliling Makassar loh. Ah sayangnya kami udah keburu explore Makassar sehari sebelum kami ke sini, bu. Kata si ibu, beliau kagum banget sama kami karena masih muda untuk berani berkeliling. Ciye!
Begitu sampai Bulukumba rasanya lega pol. Saya langsung melakukan perenggangan. Duh, merasakan kesunyian rasanya benar-benar anugerah, saya trauma sesaat dengan bunyi klaskson saat itu. Haha.
Nah, di Bulukumba kami malah bingung nih mau nyambung pake angkot apa ke Bira? Setelah tanya sana-sini, kami pun melanjutkan perjalanan dengan angkot berwarna kuning yang ongkosnya sebesar Rp 2.000. Tapi ternyata angkot itu tidak mengantarkan kami sampai ke Bira sehingga kami harus nyambung dengan angkot lain untuk sampai ke Bira. Masalah terbesarnya adalah angkot menuju Bira hanya ada sampai jam 5 sore, sedangkan saat kami tiba di sana sudah jam 5.30. Nah loh, bagaimana ini? Melihat kami kebingungan, ibu-ibu dalam angkot pun berusaha memberi saran kepada kami. Tapi mereka ngomongnya pake bahasa lokal dong, kami cuma bisa bengong mendengarkannya.
Terus tiba-tiba ada supir ojek yang mendekati angkot dan coba menawarkan jasanya pada kami. Tapi tukang ojek itu ngomongnya juga pakai bahasa lokal, jadinya kami juga bingung mau jawab apa. Haha. Sampai akhirnya ada ibu yang tadinya diam pun ikutan bicara. Ibu ini bisa bahasa Indonesia dengan lancar ternyata loh, kenapa dari tadi diam aja bu? Akhirnya setelah diterjemahkan oleh si ibu, kami pun setuju untuk naik ojek menuju Bira.

Continue Reading →