Gara-gara salah “memandang” pulau, akhirnya kami bisa sampai di pulau ini. Cerita awalnya, sebelum terbang ke Sulawesi sebenarnya kami sudah pernah membaca bahwa ada sebuah pulau bernama Selayar yang letaknya dekat dengan Tanjung Bira. Nah awalnya Selayar ini tidak ada dalam itinerary sehingga kami pun tidak mencari tau informasi mengenai pulau ini. Tapi karena posisi penginapan kami saat di Tanjung Bira yang menghadap langsung ke laut, terlihat dengan jelas sebuah “pulau” di seberang lautan sana. Akhirnya karena pulau itu letaknya terlihat sangat dekat, kami pun berubah pikiran dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke pulau tersebut.
“Itu pulau di seberang sana, Selayar kan ya?”
“Ya ampun, sedekat ini ya ternyata. Yuk, cobain ke sana, deket ini kok”
“Paling juga cuma setengah jam sudah nyampe ke seberang”
“Iyah, tanggung banget ya, toh sekalian udah sampai sini”
“Oke, yuk kita ke sana. Berangkatttt..”
Besoknya, kami pun ke pelabuhan untuk beli tiket ferry menuju Selayar. Ketika tiket sudah di tangan, kami pun segera kembali ke penginapan untuk packing dan makan siang. Nah, pas momen makan siang inilah sebuah fakta terungkap. Di restoran itu terpajang sebuah peta Tanjung Bira dan area sekitarnya. Di situ barulah kami sadar, bahwa pulau seberang yang selama ini kami kira Pulau Selayar, ternyata pulau yang berbeda dong. Entah apa nama pulau di seberang itu, yang pasti itu bukanlah Selayar. Ternyata Pulau Selayar itu masih jauh di selatan lagi. OMG! Kami shock campur ketawa pas melihat peta itu.
“Bagaimana dong nih?”
“Yasudah, toh sebelumnya niat ke Selayar sudah bulat kan. Udah hajar aja !!”
“Okelah, udah terlajur basah begini. Haha”
Sekitar jam 2.30, kapal ferry kami pun bergerak meninggalkan Bira. Penyeberangan ini memakan waktu 2,5 – 3 jam. Ketika kami tiba di pelabuhan Selayar, kami benar-benar bingung total. Tipikal kehidupan di pulau ini berbeda banget sama pulau-pulau lain yang pernah kami kunjungi sebelumnya. Biasanya kalau di pulau, setiap dekat dengan pelabuhan atau pantai pasti banyak rumah penduduk kan ya? Atau setiap ada pantai, sedikitnya ada 1 rumah yang dijadikan homestay lah. Tapi pantai di depan mata kami sekarang, tidak ada satu rumah pun dong. Semuanya hanya air, pasir dan pohon kelapa. “Hah, gimana ini, mesti kemana ini?” Langit pun semakin gelap dan kami masih belum punya tujuan.
Oke, dengan cepat kami langsung buka buku sakti berinisial “LP” untuk mencari informasi tentang pulau ini. Di situ tertulis bahwa main town di pulau ini adalah kota Benteng. Kami pun segera bertanya sana sini, bagaimana cara menuju Benteng. Kemudian terdengar suara seorang kondektur bus, “ayo, kalau mau ke Benteng, masih ada bangku di belakang.”
Kami pun segera naik ke bus tersebut. Busnya sesak banget. Di bagian belakang bus pun telah penuh dengan tas-tas penumpang yang tumpang tindih, termasuk tas kami juga. Eits, bukan hanya tas, ternyata ada kotak yang isinya anak ayam hidup di tumpukan paling atas. Sialnya lagi, kotak itu letaknya persis di belakang kepala saya. Sepanjang perjalanan, telinga saya diiringi dengan suara mungil ayam-ayam kecil ini ber “cuit cuit cuit..”
Semua orang di dalam bus nampaknya adalah penduduk lokal pulau ini, cuma kami saja yang pendatang. Sepanjang perjalanan hanya pohon kelapa dan bakau yang terlihat. Sudah hampir 1 jam lebih, kami belum juga melihat rumah penduduk. Ya ampun, sudah gelap banget dan belum ada tanda-tanda kehidupan, benar-benar bikin tidak tenang.
Sekitar jam 7 malam, saya baru melihat rumah-rumah penduduk. Bukannya senang, saya pun malah makin horror melihatnya. Kenapa pada gelap sih rumahnya? Yang anehnya cuma beberapa rumah saja yang ada lilinnya, yang lainnya gelap gulita semua. Wih, makin campur aduk aja ini perasaan saya.
Satu per satu penumpang pun turun dari bus sesuai dengan tujuan mereka. Setiap ada penumpang yang ingin mengambil tasnya di belakang, si kondektur mengeluarkan semua tas keluar bus, barulah penumpang itu memilih mana tasnya di luar. Setelah selesai, satu per satu tas itu di”lempar”kan masuk lagi. Begitulah seterusnya, setiap kali ada penumpang turun. Saya hanya berharap jangan sampai tas saya tertinggal di luar sana.
Ah, akhirnya saya mulai melihat beberapa cahaya lampu di rumah penduduk. Rasanya benar-benar lega. Walau begitu, kami masih bingung nih, sebenarnya kami tuh mau turun dimana sih? Kami pun teringat dengan nama penginapan yang direkomendasikan oleh seseorang yang tidak sengaja bertemu di kapal ferry siang tadi. Saat bertanya pada kondektur, untungnya beliau tau di mana lokasi penginapan tersebut. Kondektur itupun bercerita kalau rumah-rumah penduduk yang gelap tadi, dikarenakan sedang adanya pemadaman listrik sementara. Oalah, haha ada-ada aja!
Keesokan paginya, saya pun memutuskan untuk jalan-jalan pagi berkeliling kota. Pagi itu, angin benar-benar kencang, ombak pun terdengar keras menghajar tembok penahan di sepanjang pantai. Hah, pantai? Salah deh! Sepanjang mata memandang tidak terlihat ada pantai tuh, sepanjang tepian sudah diberi tembok penahan semua untuk menahan terjangan ombak.
Ketika sedang kebingungan mencari TIC (tourist information centre) atau dinas pariwisatanya. Kebetulan di depan saya ada sebuah kantor polisi dan saya pun coba bertanya di sana.
Saya : “Pak, punya peta wisata Selayar gak?”
Polisi : “Oh, ada. Ayo sini duduk dulu, petanya sedang diambil di dalam”
(hampir setengah jam, petanya pun tak kunjung datang)
Saya : “Pak, kalau petanya tidak ada, tidak apa-apa kok. Hehe”
Polisi : “Ada kok, sedang di print. Kebetulan kami sedang kehabisan”
Saya : “Oh, baiklah”
Tidak lama kemudian, seorang polisi datang dan menyodorkan sebuah kertas kepada saya. Heh? Apa ini? Yah ini memang peta sih, tapi ini peta geografis Pak Polisi, mirip peta Atlas. Lalu karena skalanya kecil, garis jalan pun gak keliatan, buat apa coba? Haduh.
Dari hasil ngobrol dengan polisi tersebut, akhirnya saya tau bahwa saya sedang berada di sebelah barat pulau. Sedangkan jika untuk wisata, di sebelah timur ada sebuah dive operator milik orang asing. Untuk menuju sana, kami harus memutar pulau ini dan memakan waktu yang lama. Kemudian saya pun bertanya mengenai objek wisata lainnya di pulau ini. Jawabannya, mereka pun tidak tahu sama sekali. Jadi tidak ada apa-apa nih di sini? Yakin, Pak Polisi?
Kami benar-benar bingung jadinya dan memutuskan untuk lanjut ke Toraja saja ah. Karena tidak tau juga mau ngapain di pulau ini (mengingat sebenarnya Selayar memang tidak ada dalam itinerary kami)
Ya ampun, tidak hanya susah untuk menuju kota ini, ternyata untuk meninggalkannya jauh lebih susah lagi. Tidak ada bus ke pelabuhan pagi itu sedangkan kami harus mengejar kapal ferry siang. Lalu bagaimana cara penumpang lainnya mencapai ferry coba? Aneh banget sih.
Berdasarkan saran dari orang penginapan, kami pun naik becak menuju pasar. Di pasar, kami mencoba untuk menyewa mobil barang untuk ke pelabuhan. Namun tidak semua mobil mau mengantarkan kami, kalaupun mau harga sampai 700 ribuan. Wow!
Oke, kayaknya perlu pakai strategi nih. Baiklah, teman saya yang pria mending sembunyi dulu. Kalau urusan begini, lebih baik wanita yang turun tangan. Haha. Saya sendiri mencoba mendekati sebuah mobil barang dengan pasang muka polos yang kebingungan mau mengejar ferry. Si sopir pun luluh. Yes! Saya pun berhasil mendapatkan harga 300 ribu. Harga paling murah dari sepanjang tawar menawar sebelumnya, karena jarak Benteng-Pelabuhan memang jauh sih dan mobil itu harus balik lagi ke kota kan.
Betapa leganya begitu duduk di dalam ferry. Walau saya tidak dapat “hasil” apa-apa di sini, tapi ini pengalaman paling tak terlupakan. Traveling ke tempat yang antah berantah gara-gara salah nebak pulau! [Jan ’10]
Additional information
Tiket kapal ferry Tanjung Bira – Lamatata : Rp 19.000,-
© kelilingbumi.com. All rights reserved. Do not duplicate without permission.
Leave a Reply