Siapa yang tak kenal Borobudur dan Prambanan? Nama mereka sering ditemukan dalam buku sejarah (IPS) ketika duduk di bangku sekolah dasar. Kedua candi ini kerap kali dikaitkan dengan cerita rakyat bangsa kita. Sedari kecil kita diperkenalkan kepada warisan kebanggaan Indonesia, namun bagi saya, ketika menjadi mahasiswa lah, saya baru punya kesempatan melihat kedua candi ini secara langsung.
Dari Malioboro, Yogya, kami menaiki bus umum yang akan mengantarkan ke Borobudur. Sekitar sejam lebih waktu perjalanan yang ditempuh. Ketika sampai, perjalanan pun dilanjutkan dengan becak. Hasil negosiasi harga dengan si tukang becak adalah Rp 7.000,- dari terminal bus hingga Candi Borobudur. Namun di tengah perjalanan, si tukang becak membuka pembicaraan dan menawarkan sesuatu yang menggiurkan kami.
Tukang becak : “udah pernah ke Candi Mendut belum?”
Kami : “belum. Emang kenapa?”
Tukang becak : “mau sekalian kesana gak? Deket kok. Nanti ke Candi Pawon juga, jadi dapat kunjungi 3 candi sekalian.”
Kami : “err, jauh gak, mas? Ongkosnya berapa?”
Tukang becak : “gak jauh kok. Yah, bayarnya mah seikhlasnya ajah.”
Kami : “hah, seriusan mas?? Wow, boleh boleh deh.”
Kemudian, pertama tibalah di Candi Mendut lalu dilanjutkan menuju Candi Pawon. Sebagai gambaran, kedua candi ini tergolong kecil kok, ukurannya sangat jauh jika dibandingkan dengan Borobudur. Tiket masuk yang dibeli di Candi Mendut ternyata berlaku juga di Candi Pawon. Jadi saat di Candi Mendut tiketnya akan disobek sedikit dan ketika sampai di Candi Pawon, tiket yang sama tersebut akan disobek lagi. Kami tidak berlama-lama di kedua candi itu, mengingat hari semakin terik dan kami pun belum sampai di tempat tujuan utama. Kami pun segera kembali ke becak. Hap! Begitu sampai, kami segera diskusi ala bisik-bisik untuk merundingkan berapa harga yang pantas untuk si abang becak ini. Oke, dari Rp 7.000,- kami sepakat untuk menaikkan menjadi Rp 20.000.- Hampir 3 kali lipat bo! Ketika tiba di Borobudur, uang tersebut kami sodorkan ke si abang, tapi beliau malah cemberut. Nah loh?!
Tukang becak : “masa dua puluh, mbae. Kan jauh??”
Kami : “lah, katanya terserah? Piye toh, mas”
Tukang becak : “iyahh kan jauh, malah panas banget. Biasanya mah lima puluh ribu!”
Kami : (buseettt) “kenapa tiba-tiba ada patokan harganya gini, mas. Tadikan kita setuju, karena mas-nya bilang harganya terserah.”
Tukang becak : “biasanya juga orang-orang bayar segitu.”
(Tiba-tiba si tukang becak sibuk manggilin tukang becak yang lain buat ngedukung dia. Nah loh?!)
Kami : “emang gak bisa turun lagi apa, mas? Mahal bener, sama kayak argo taksi ya?”
Tukang becak : “lima puluh tuh udah semuanya, mbae. Ntar mbae keliling aja di Borobudur. Saya tunggu disini, ntar dianterin lagi ke terminal”
Kami : (ihh, ogah deh. Udah kesel gini) “Yaudah, empat puluh ajah ya, gak usah nungguin kita. Gimana? Bisa ya ya?”
Tanpa pikir panjang, dua lembar dua puluh ribuan pun segera kami letakkan di jok becak. Si abang becak pun tak bersuara dan mengantongi duitnya. Fiuh! Akhirnya kami segera meninggalkan si abang becak dan menuju ke arah loket tiket.
Kami pun segera mendekati candi Budha tersebut. Cukup lelah menaiki setiap anak tangganya karena candi ini terdiri dari tujuh tingkat. Candi Borobudur dibangun antara tahun 750 dan 850 M. Terlihat ada beberapa batu yang bergeser sedikit dari tempatnya. Dari situ kami dapat melihat jelas, bahwa setiap susunan pada candi tidak direkatkan sama sekali. Tetapi disusun sedekian rupa dengan teknik kunci tertentu. Seperti menyusun balok dalam permainan lego saja, tetapi kalo candi ini terbukti sangat tidak mudah roboh kan ya?
Yang sangat disayangkan, ada beberapa patung yang kehilangan kepalanya. Ada yang bilang rusak, namun ada juga yang bilang bahwa kepala patung tersebut dicuri untuk diperjualbelikan secara illegal kepada para kolektor. Gak kebayang, gimana caranya memotong dan membawa kepala patung yang terbuat dari batu tersebut. Bukannya susah dan berat yah, apalagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Entah bagaimana caranya, yang jelas ini kejahatan kriminal yang memalukan.
Kapok dengan kejadian di Borobudur, esoknya perjalanan ke Prambanan pun kami tempuh dengan motor sewaan. Yoi, lumayan nih! Tapi ada satu masalah, di peta yang kami bawa tidak menjelaskan mana jalan yang satu arah dan dua arah. Ah sudahlah, kalau tidak dicoba, kita tidak akan pernah tahu. Toh, banyak orang yang bisa ditanyakan sepanjang jalan kan ya?
Ternyata, lumayan bingung baca peta yang tidak detail skalanya. Setiap kebingungan, kami selalu berhenti dan bertanya pada orang-orang sekitar. Salah satunya, saat kami bertanya dengan seorang bapak yang punya bengkel di tepi jalan.
Kami : “misi pak, kalau mau ke Prambanan lewat mana yah, pak?”
Bapak : “oh, gini mbae. Lurus ajah. Ntar, kalo ketemu stopan di perempatan pertama, mbae bablas ajah. Stopan kedua, bablas. Sampe stopan ketiga, bablas terus saja bablas.”
Kami : (dengan muka bengong, antara ngerti atau tidak) “oh iyah, baik pak. Hehe. Makasih ya, pak.”
Sambil tebak-tebakan dalam hati, kami pun berusaha menerjemahkannya. Stopan itu maksudnya lampu lalu lintas, sedangkan bablas maksudnya lurus terus. Iya bukan sih? Haha, kami pun tertawa sepanjang jalan, ketika berhasil menerjemahkan kalimat yang bapak itu katakan.
Karena terletak di tepi Jalan Yogya-Solo, tidak sulit menemukan candi Hindu yang satu ini. Untuk harga tiketnya, sama dengan tiket Borobudur. Di pojokan atas kiri atas tiketnya tertulis “PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, Ratu Boko.” Sayang, kami tidak sempat ke Ratu Boko.
Ketika kami masuk, pagar pembatas sudah menyambut kami. Akibat gempa besar yanag terjadi di Yogya, beberapa candi di kompleks Candi Prambanan mengalami kerusakan. Susunan batu-batuannya banyak berjatuhan, terlepas dari posisi semulanya. Oleh karena itu, tidak semua candi dapat kami masuki karena sedang mengalami perbaikan. Hanya sedikit candi yang dapat kami dekati, sedangkan sebagian besar berupa tumpukan batu yang bersebaran di rumput. Kami pun melihat ada beberapa tim yang sedang mempelajari susunan/konstruksi candi-candi tersebut. Rencananya batuan potongan dari candi tersebut dapat dipasangkan kembali seperti semula. Semoga prosesnya berjalan dengan lancar dan Prambanan bisa berdiri seperti bentuknya yang semula ya.
Semoga lekas sembuh, Prambanan. [Jan ’09]
© kelilingbumi.com. All rights reserved. Do not duplicate without permission.
Additional information
– Tiket masuk Candi Mendut dan Pawon : Rp 3.000,- (tiket ini berlaku di dua candi tersebut)
– Tiket masuk Candi Borobudur : Rp 12.500,-
Jika membawa kamera harus membayar Rp 1.000,- lagi
– Tiket masuk Candi Prambanan : Rp 12.500,-
Jika membawa kamera harus membayar Rp 1.000,- lagi
Leave a Reply